Membaca Ulang Sumpah Pemuda: Dari Ikrar Persatuan ke Etika Kebangsaan Generasi Digital

Ide85 Dilihat

Oleh: Dr. Maria Ulviani, M.Pd.
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Pendidikan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar

INDEPENDENews.com –  Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia kembali menengok satu peristiwa monumental yang menjadi tonggak lahirnya semangat nasionalisme: Sumpah Pemuda 1928.

Sebuah ikrar sederhana namun sarat makna, ketika para pemuda dari berbagai daerah menyatukan diri dalam tiga kalimat bersejarah: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia.

Namun kini, setelah 97 tahun berlalu, kita patut bertanya: apakah semangat persatuan itu masih berdenyut dalam diri generasi muda yang hidup di era digital? Ataukah nilai Sumpah Pemuda telah memudar, tergantikan oleh arus informasi yang deras, identitas digital yang rapuh, dan budaya instan yang mengikis rasa kebangsaan?

Dari Ikrar Persatuan ke Etika Kebangsaan

Sumpah Pemuda bukan sekadar dokumen sejarah, melainkan manifesto moral bangsa.

Ia menegaskan bahwa kebangsaan Indonesia dibangun atas dasar kehendak untuk bersatu, bukan karena kesamaan etnis atau agama, melainkan karena kesadaran nilai dan cita-cita.

Dalam konteks masa kini, semangat itu dapat dimaknai sebagai etika kebangsaan cara berpikir dan bertindak yang menjunjung keberagaman, menolak intoleransi, serta menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

Sayangnya, di tengah kemajuan teknologi, nilai-nilai itu kerap memudar. Media sosial yang semestinya menjadi ruang berbagi gagasan justru sering berubah menjadi arena konflik identitas. Ujaran kebencian, hoaks, dan polarisasi politik menjelma ancaman baru bagi keutuhan sosial.

Di sinilah Sumpah Pemuda perlu dibaca ulang.

Ia bukan sekadar seruan untuk “bersatu”, tetapi panggilan untuk menjaga kewarasan moral di tengah kebisingan digital.

Generasi Digital dan Tantangan Persatuan

Pemuda masa kini lahir dalam era yang serba terbuka, di mana batas geografis nyaris lenyap.

Mereka bisa berinteraksi lintas budaya, mengakses informasi tanpa batas, dan menciptakan konten yang menjangkau dunia. Tetapi di balik kemudahan itu, muncul tantangan besar: krisis identitas dan lunturnya orientasi kebangsaan.

Jika dahulu perjuangan pemuda dilakukan dengan pena, keringat, dan darah, maka hari ini perjuangan itu berlangsung di dunia maya melalui narasi, konten, dan literasi digital. Perjuangan masa kini bukan lagi melawan penjajahan fisik, melainkan melawan penjajahan informasi, bias algoritma, dan arus budaya global yang kadang menenggelamkan jati diri bangsa.

Oleh karena itu, generasi muda perlu memiliki ketahanan moral dan literasi kebangsaan.

Mereka harus mampu memilah kebenaran, mengelola perbedaan, dan menebarkan nilai-nilai positif melalui ruang digital. Membaca ulang Sumpah Pemuda berarti menanamkan kembali kesadaran bahwa kemajuan teknologi harus diiringi dengan tanggung jawab etis dan sosial.

Menumbuhkan Literasi Kebangsaan

Dalam dunia pendidikan, Sumpah Pemuda dapat dijadikan sebagai fondasi karakter nasional.

Nilai-nilai persatuan, gotong royong, dan cinta tanah air perlu diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran yang kontekstual.

Guru dan dosen memiliki peran strategis dalam menanamkan semangat kebangsaan melalui pendekatan literasi kritis tidak sekadar mengajarkan fakta sejarah, tetapi menumbuhkan refleksi nilai.

Mahasiswa dan siswa perlu diajak memahami bahwa menjadi warga negara Indonesia berarti siap untuk hidup dalam perbedaan, berpikir terbuka, dan bertanggung jawab terhadap masa depan bangsanya.

Gerakan literasi kebangsaan dapat diwujudkan melalui diskusi lintas daerah, karya tulis, film pendek, maupun konten digital yang menebarkan pesan persatuan. Setiap karya, sekecil apa pun, menjadi bentuk “ikrar baru” bahwa semangat Sumpah Pemuda masih hidup dalam generasi hari ini.

Bersatu Tanpa Menyeragamkan
Salah satu pesan penting dari Sumpah Pemuda adalah bersatu tanpa menyeragamkan. Para pemuda 1928 datang dari latar budaya yang berbeda, namun mereka mampu menanggalkan ego daerah demi cita-cita nasional.

Mereka tidak menghapus perbedaan, tetapi mengelolanya untuk memperkuat persatuan.

Prinsip ini sangat relevan di tengah kehidupan digital yang sering memperkuat polarisasi. “Bersatu” hari ini berarti mampu menahan diri dari provokasi, menghormati pandangan berbeda, dan menjunjung etika komunikasi publik.

Persatuan tidak diukur dari keseragaman pendapat, tetapi dari kesediaan untuk tetap berdialog dan bekerja sama meskipun berbeda pandangan.

Menatap 100 Tahun Sumpah Pemuda

Tiga tahun lagi, bangsa Indonesia akan memperingati 100 tahun Sumpah Pemuda. Ini bukan sekadar peringatan seremonial, melainkan momentum reflektif untuk menilai kembali arah bangsa.

Apakah semangat persatuan masih kuat menjiwai generasi muda, ataukah telah tergantikan oleh individualisme dan pragmatisme?

Generasi muda hari ini memegang peran penting dalam menjawab pertanyaan itu.

Mereka adalah penerus estafet sejarah yang harus membawa semangat 1928 ke masa depan bukan dengan pidato heroik, tetapi dengan tindakan etis dan inovatif.

Pemuda Indonesia harus mampu menjadi agen perubahan yang menghidupkan nilai-nilai persatuan melalui karya nyata, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.

Penutup

Sumpah Pemuda bukan hanya warisan sejarah, tetapi kompas moral bangsa. Ia mengajarkan bahwa persatuan tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari kesadaran untuk hidup bersama dalam perbedaan.

Membaca ulang Sumpah Pemuda di era digital berarti menghidupkan kembali etika kebangsaan: berpikir kritis, berbicara santun, berperilaku jujur, dan berempati terhadap sesama.

Dalam dunia yang semakin bising oleh opini, pemuda harus menjadi suara yang meneduhkan bukan yang menambah keretakan.

Karena sejatinya, menjadi pemuda Indonesia bukan hanya soal usia muda, tetapi tentang semangat untuk terus bersatu, berpikir maju, dan berbuat bagi kemajuan bangsa. (*)