Oleh: Hijerah
basrihijerah@gmail.com
Universitas Muhammadiyah Malang
INDEPENDENews.com – Transformasi digital di dunia pendidikan menjadi fenomena yang tak terelakkan. Sejak pandemi COVID-19, ruang-ruang belajar berubah menjadi layar-layar digital yang mempertemukan guru dan siswa tanpa batas ruang dan waktu. Pemerintah Indonesia melalui kebijakan Merdeka Belajar mendorong lahirnya inovasi pembelajaran berbasis teknologi di berbagai jenjang pendidikan. Namun di balik kemajuan tersebut, muncul realitas yang perlu direfleksikan: apakah pendidikan kita semakin memanusiakan manusia, atau justru menjadikan siswa sekadar objek dari sistem yang serba mekanis dan berorientasi hasil?
Di lapangan, banyak guru menghadapi dilema. Di satu sisi, mereka dituntut menguasai teknologi dan mengintegrasikannya dalam pembelajaran. Di sisi lain, tekanan administratif dan keterbatasan infrastruktur membuat proses belajar kehilangan sentuhan personal. Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2023) menunjukkan bahwa 94% siswa Indonesia kini mengakses internet setiap hari, namun hanya 38% yang menggunakannya untuk kegiatan belajar terarah. Fakta ini menunjukkan bahwa digitalisasi belum otomatis bermakna sebagai transformasi kualitas belajar. Pendidikan berisiko kehilangan ruh kemanusiaan jika tidak diimbangi dengan kesadaran reflektif dan pendekatan yang humanis.
Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial (KA) bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan dalam dunia pendidikan modern. Integrasi Koding dan KA dalam pendidikan tidak hanya untuk meningkatkan literasi digital dan kemampuan penyelesaian masalah, tetapi juga mengajarkan berbagai keterampilan esensial yang mencakup berpikir komputasional, analisis data, algoritma pemrograman, etika KA, human-centered mindset, design system KA, dan teknik KA. Berpikir komputasional mengajarkan peserta didik untuk menyelesaikan masalah secara sistematis dan efisien dengan melakukan proses dekomposisi (memecah masalah besar menjadi bagian kecil), dan pengenalan pola, abstraksi, serta algoritma yang membantu peserta didik memahami dan menangani tantangan digital.
Dengan ekosistem pembelajaran yang inklusif dan berkeadilan, pendidikan di Indonesia diharapkan tidak hanya mampu mencetak generasi yang berdaya saing tinggi, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal dalam memperoleh akses pendidikan berkualitas. Pembelajaran Koding dan KA dirancang untuk memberikan dampak positif kepada peserta didik, seperti kemampuan berpikir logis dan analitis. Kedua bidang tersebut diharapkan tidak hanya menumbuhkan keterampilan dalam menyelesaikan persoalan dan kesiapan dalam pemanfaatan teknologi, tetapi juga mengembangkan pemahaman mendalam mengenai tanggung jawab etis.
Pendidikan Bukan Sekadar Transfer Pengetahuan
Pendidikan sering kali direduksi menjadi sekadar aktivitas mengajar dan menguji. Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh Freire (1970), pendidikan sejati adalah proses pembebasan manusia dari kebodohan dan penindasan. Dalam kerangka ini, pembelajaran tidak hanya bertujuan mencerdaskan secara intelektual, tetapi juga mengasah empati, refleksi, dan kesadaran kritis. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih terlalu menekankan aspek kognitif melalui ujian dan penilaian numerik, sementara dimensi afektif dan sosial kurang mendapat ruang.
Era digital seharusnya menghadirkan peluang baru untuk memperluas makna belajar. Teknologi dapat menjadi sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kolaboratif, jika digunakan secara tepat. Misalnya, pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) memungkinkan siswa untuk menyelidiki masalah nyata di lingkungan mereka, menggabungkan data digital dengan pengalaman lapangan, dan menghasilkan solusi kreatif. Pendekatan ini lebih bermakna dibandingkan sekadar menghafal teori dari buku teks digital.
Urgensi integrasi Koding dan KA dalam pendidikan makin meningkat seiring dengan perkembangan Industri 4.0 dan 5.0, yang menuntut sumber daya manusia unggul dengan pemahaman dan keterampilan digital yang kuat. Tanpa literasi digital dan kemampuan di bidang teknologi digital yang memadai, generasi muda akan menghadapi kesulitan dalam bersaing di dunia kerja yang makin berbasis teknologi. Oleh karena itu, integrasi Koding dan KA dalam kurikulum sekolah bukan sekadar inovasi, melainkan kebutuhan fundamental dalam membangun sumber daya manusia yang unggul dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Pemerintah, sekolah, industri, dan masyarakat perlu bersinergi dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan sehingga banga Indonesia tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga produsen inovasi yang mampu bersaing di tingkat global. Pembelajaran koding dan KA tidak hanya meningkatkan literasi digital, tetapi juga membangun keterampilan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan pemecahan masalah—keterampilan esensial dalam dunia yang terus berubah.
Pendidikan yang bermutu harus memberikan kesempatan bagi semua peserta didik, baik di perkotaan maupun di daerah terpencil, untuk memahami prinsip dasar teknologi dan menggunakannya sebagai alat pemberdayaan. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga dapat berperan sebagai inovator yang menciptakan solusi bagi tantangan di sekitar mereka.
Kebijakan Merdeka Belajar: Peluang dan Tantangan
Kebijakan Merdeka Belajar yang digagas pemerintah merupakan langkah progresif dalam mengembalikan kebebasan dan otonomi pendidikan. Guru diberi keleluasaan untuk merancang pembelajaran sesuai konteks sekolah dan karakter siswa. Kurikulum Merdeka bahkan menekankan pentingnya pembelajaran berdiferensiasi dan asesmen formatif yang menekankan proses, bukan hanya hasil.
Konsep Merdeka Belajar sejatinya lahir dari semangat pembebasanpembebasan guru dan siswa dari sistem pendidikan yang kaku, birokratis, dan mengekang daya cipta. Namun, di banyak sekolah, semangat itu seolah teredam di balik tumpukan dokumen dan laporan yang menuntut angka-angka capaian. Implementasi Merdeka Belajar di lapangan masih sering disalahartikan sebagai sekadar perubahan format administrasi, bukan transformasi paradigma berpikir.
Guru yang seharusnya menjadi aktor utama dalam menciptakan pembelajaran yang kreatif, reflektif, dan bermakna, justru sering kali tersandera oleh beban pelaporan. Setiap aktivitas belajar harus dibuktikan dengan data kuantitatif, setiap inovasi harus diukur dalam tabel indikator. Akibatnya, ruang eksperimentasi dan kebebasan pedagogis semakin menyempit. Padahal, pendidikan yang merdeka semestinya memberi ruang bagi kegagalan yang produktif tempat di mana guru dan siswa sama-sama belajar dari proses, bukan hanya dari hasil.
Merdeka Belajar bukan tentang format baru RPP atau sistem asesmen yang lebih rumit. Ia adalah ajakan untuk kembali pada hakikat pendidikan: membentuk manusia yang berpikir kritis, berkarakter, dan berdaya cipta. Ketika guru diberi kepercayaan dan keleluasaan untuk menafsirkan kebijakan sesuai konteks kelasnya, di situlah esensi kemerdekaan berpikir tumbuh. Sebaliknya, jika setiap langkah guru masih diawasi oleh instrumen administratif yang kaku, maka Merdeka Belajar hanya menjadi slogan tanpa ruh.
Sudah saatnya kebijakan pendidikan memberi ruang lebih besar bagi kepercayaan dan refleksi guru. Administrasi memang penting, tetapi jangan sampai ia menjadi dinding yang memisahkan guru dari kreativitasnya. Merdeka Belajar akan menemukan maknanya yang sejati ketika guru tak lagi sibuk “membuktikan” kerja mereka di atas kertas, tetapi mampu “menunjukkan” perubahan nyata di ruang kelas melalui semangat belajar yang hidup, inspiratif, dan merdeka.
Di sinilah pentingnya dukungan nyata dari pemerintah dan lembaga pendidikan. Pelatihan guru hendaknya tidak hanya berfokus pada keterampilan teknis mengoperasikan platform digital, tetapi juga pada penguatan kapasitas reflektif dan pedagogis. Guru perlu diposisikan bukan sebagai pelaksana kebijakan, melainkan sebagai pemikir dan perancang pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa (Sinal, 2024).
Membangun Pembelajaran Humanis di Era Digital
Digitalisasi pendidikan akan membawa manfaat besar jika tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Pembelajaran humanis menempatkan siswa sebagai subjek yang aktif, bukan objek yang pasif. Guru berperan sebagai fasilitator dan pendamping yang membimbing proses berpikir siswa, bukan sekadar pemberi informasi.
Di tengah derasnya arus digitalisasi pendidikan, pendekatan reflektif berbasis teknologi menawarkan harapan baru bagi dunia belajar yang lebih manusiawi. Teknologi tidak lagi sekadar alat bantu, tetapi jembatan antara kesadaran diri dan proses belajar yang bermakna. Melalui media seperti learning journal digital, siswa diajak untuk berhenti sejenak dari rutinitas akademik dan menuliskan refleksi pribadi—apa yang mereka pelajari, rasakan, dan maknai dari setiap proses pembelajaran.
Guru pun tak lagi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, melainkan rekan dialog yang menanggapi refleksi siswa dengan empati dan rasa ingin tahu. Proses ini menghadirkan hubungan yang lebih autentik di ruang belajar: bukan sekadar “guru mengajar dan siswa menerima”, melainkan dua individu yang saling belajar dan saling memahami. Dari sinilah tumbuh kesadaran baru bahwa belajar sejati tidak hanya tentang nilai, tetapi tentang bagaimana seseorang mengenali dirinya sebagai pembelajar sepanjang hayat.
Lebih dari itu, teknologi memberi ruang bagi kreativitas untuk tumbuh tanpa batas. Forum diskusi daring, podcast pembelajaran, hingga proyek digital kolaboratif mengubah wajah pembelajaran menjadi lebih partisipatif dan inklusif. Siswa merasa memiliki kendali atas proses belajar mereka sendiri. Mereka bukan lagi objek pendidikan, melainkan subjek yang berdaya—yang belajar bukan karena disuruh, tetapi karena ingin tahu dan ingin tumbuh.
Namun, refleksi digital tidak akan bermakna tanpa pendampingan yang bijak. Guru perlu menanamkan etika digital, empati komunikasi, dan kedisiplinan reflektif agar teknologi benar-benar menjadi ruang tumbuh, bukan sekadar tren. Dengan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, refleksi berbasis teknologi dapat menjadi sarana membangun generasi pembelajar yang berpikir kritis, berjiwa reflektif, dan tetap berakar pada nilai-nilai kemanusiaan. Refleksi digital bukan hanya tentang menggunakan teknologi untuk belajar, tetapi tentang menggunakan belajar untuk menjadi manusia yang lebih sadar dan bijak.
Konsep deep learning yang dikembangkan dalam konteks pendidikan modern menekankan pemahaman mendalam, bukan hafalan dangkal (Braun & Clarke, 2021). Dalam hal ini, teknologi harus digunakan untuk memperluas wawasan, bukan mempercepat proses tanpa makna. Pembelajaran yang mengutamakan refleksi, diskusi, dan kolaborasi akan menghasilkan lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara emosional dan sosial.
Penutup
Pendidikan di era digital menuntut reorientasi makna yang mendalam. Teknologi tidak boleh menjadi pusat dari pembelajaran, melainkan alat untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan. Kebijakan Merdeka Belajar sudah berada di jalur yang benar, namun implementasinya harus terus dikawal agar tidak kehilangan arah. Guru perlu diberdayakan sebagai aktor utama perubahan, sementara siswa harus diberikan ruang untuk menjadi pembelajar otonom yang kritis dan reflektif.
Makna sejati pendidikan bukan terletak pada seberapa canggih perangkat yang digunakan, tetapi seberapa besar pendidikan mampu menumbuhkan manusia yang berpikir, berempati, dan berdaya. Di tengah derasnya arus digitalisasi, tugas terbesar dunia pendidikan adalah memastikan bahwa teknologi tidak menggantikan kemanusiaan, melainkan memperkuatnya. (*)
________________________________________
Daftar Pustaka (Sitasi dalam teks):
• Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
• Braun, V., & Clarke, V. (2021). Thematic Analysis: A Practical Guide. London: SAGE.
• Sinal, A. (2024). Refleksi Pembelajaran Humanis di Era Digital. Jakarta: Kencana.
- Merekat Kebangsaan, Memajukan Kesejahteraan: Pesan Milad Muhammadiyah ke-113 - 18 November 2025
- Batalkan Gugatan Mentan, KAJ Sulsel: PN Jaksel Penyelamat Kebebasan Pers - 17 November 2025
- Dari Makassar Untuk Dunia, Forum Akademik Internasional Terbentuk - 17 November 2025
