INDEPENDENews.com – Polres Maros mengamankan seorang pria sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
Penangkapan ini dilakukan setelah pihak penyidik Polres Maros menerima laporan terkait kasus penganiayaan terhadap seorang perempuan SQ (42) yang terjadi pada hari sabtu pagi (12/4/2025) di Dusun Lekopancing Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.
Pelaku adalah ZA alias Guntur (37) yang merupakan suami korban SQ itu sendiri. Pelaku diamankan tidak lama setelah Polisi menerima laporan dan mendatangi TKP.
Kapolres Maros melalui Kasubsi Penmas Ipda A.Marwan.P.Afriady, membenarkan penangkapan tersebut.
“Kami telah berhasil mengamankan seorang terduga pelaku berinisial ZA alias Guntur, berusia 37 tahun, terkait kasus penganiayaan yang mengakibatkan korban, SQ, meninggal dunia,” ujar Ipda Marwan.
Lebih lanjut, Kasubsi Penmas menjelaskan bahwa penangkapan pelaku dilakukan di rumahnya di Dusun Lekopancing Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.
Penangkapan ini dilakukan setelah penyidik mengumpulkan berbagai bukti dan keterangan saksi di lapangan, termasuk hasil introgasi pelaku.
“Setelah kejadian, kami langsung melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan mengumpulkan keterangan dari sejumlah saksi. Berdasarkan bukti-bukti yang ada, kami berhasil mengidentifikasi dan kemudian mengamankan terduga pelaku,” jelasnya.
Motif dari tindak penganiayaan ini diduga kuat karena sakit hati oleh sikap dan ucapan korban terhadap pelaku.
“Untuk saat ini berdasarkan hasil introgasi, korban dan pelaku sempat cekcok pada malam harinya dimana korban sebagai istri merasa tidak puas dengan kebiasaan pelaku yang malas keluar rumah mencari kerja atau mencari nafkah,” ujarnya Marwan.
“Sebab ketersinggungan itulah pelaku kemudian pada pagi harinya sekitar pukul 06.00 wita melakukan penganiayaan saat korban masih tertidur dengan menggunakan sebuah barbel yang dipukulkan pelaku ke bagian wajah dan kepala korban sebanyak 4-5 kali,” katanya.
Pelaku sudah diamankan ke Polres Maros Namun, pihak kepolisian masih terus melakukan pendalaman untuk mengetahui secara pasti latar belakang kejadian tersebut.
Dalam penangkapan tersebut, polisi juga berhasil mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga kuat digunakan pelaku saat melakukan penganiayaan, diantaranya 1 buah barbel warna hijau yang digunakan pelaku menganiaya korban.
Kasus penganiayaan ini telah ditangani Polsek Tanralili dan rencananya penyidik akan menjerat pelaku dengan Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT atau pasal 338 KUHP dengan ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun.
Pengamat Sosiolog Universitas Muhammadiyah Makassar, Hadi Saputra menyampaikan kasus yang terjadi di Maros seorang istri yang tewas di tangan suaminya sendiri, hanya karena meminta suami mencari kerja.
Bagi Hadi Saputra adalah bukan semata urusan emosi sesaat atau kepribadian pelaku yang temperamental.
“Ini adalah potret kelam dari bagaimana kekerasan dalam rumah tangga dibentuk dan dilegitimasi oleh struktur sosial yang lebih luas,” ungkapnya.
Di sinilah kita bisa menggunakan pendekatan Sosiolog Perancis Pierre Bourdieu, khususnya gagasan habitus patriarkis.
“Habitus itu, sederhananya, adalah cara kita berpikir dan bertindak yang terbentuk sejak lama tertanam dari lingkungan, dari kebiasaan, bahkan dari tubuh kita sendiri. Nah, dalam masyarakat kita, masih sangat kuat habitus yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga yang harus dihormati, dan perempuan sebagai pengabdi yang harus patuh,” tambah Hadi yang juga alumnus Pascasarjana Sosiologi Universitas Hasanuddin ini.
Ketika istri dalam kasus ini menyuruh suaminya cari kerja, bagi kita mungkin itu biasa saja—tapi bagi si pelaku, yang hidup dalam habitus patriarkis, itu bisa terasa sebagai bentuk penghinaan terhadap harga dirinya sebagai laki-laki.
Karena dalam sistem nilai yang ia serap sejak kecil, laki-laki itu pemimpin, pemberi nafkah, dan tak boleh diatur, apalagi oleh istri.
Maka saat otoritas itu diganggu, reaksinya bukan sekadar marah, tapi upaya untuk memulihkan dominasi.
“Sayangnya, cara yang diambil adalah kekerasan,” katanya.
Dan perlu kita pahami juga, bahwa ini bukan kejadian pertama.
Anak korban bahkan sudah terbiasa keluar rumah tiap kali ibunya dipukul. Artinya, kekerasan ini sudah dianggap biasa dalam rumah itu.
“Inilah wujud dari normalisasi kekerasan dalam habitus patriarkis—sesuatu yang seharusnya kita lawan dengan cara mendidik ulang cara berpikir dan merasakan,” imbuhnya.
Bourdieu bilang, kekuasaan itu bukan hanya soal siapa memegang jabatan, tapi siapa yang dianggap berhak mengatur siapa. Dan dalam masyarakat patriarkis, banyak laki-laki merasa berhak atas tubuh dan suara perempuan.
“Maka membongkar habitus ini bukan cuma tugas negara, tapi tugas kita semua sebagai pendidik, jurnalis, maupun orang tua,” tutupnya. (*)