KASUS Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) masih menjadi masalah serius Republik Indonesia. Bahkan, masalah ini terus meningkat setiap tahun berujung kematian terhadap korban.Â
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA), kekerasan perempuan dan anak terus meningkat setiap tahun.
Selama tahun 2023, jumlah kasus kekerasan sudah meningkat mencapai 12.026 kasus.
Korban dari jenis gender perempuan paling mendominasi, yakni sebanyak 10.794 kasus.Â
Kasus paling tertinggi berada di Provinsi Kepulauan Riau dengan 1.184 kasus, disusul Jawa Barat 856 kasus, DKI Jakarta 818 kasus.
Sementara itu, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 198 kasus, korban dari gender perempuan sebanyak 174 orang dan anak sebanyak 137 orang. Angka ini cenderung kecil ketimbang daerah-daerah lain.
Namun, meski kecil, Pemerintah Provinsi Yogyakarta yang sudah menerapkan proses penyelesaian sengketa rumah tangga dari tingkat bawah juga tak luput dari kekerasan terhadap perempuan dan anak.Â
Jumlah korban berdasarkan tempat kejadian, dalam rumah tangga paling mendominasi dengan 7.938 kasus.Â
Kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan domestik (domestic violence) dapat berupa ancaman, kekerasan, ataupun penelantaran yang menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan baik secara fisik, seksual maupun psikologis yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga artinya perilaku antara suami ke istri (sebaliknya) dan orang tua ke anak (sebaliknya).
Umumnya KDRT dialami sebagian besar oleh perempuan dan anak-anak yang tak jarang juga seorang suami menjadi korbannya, hal ini disebabkan karena adanya konflik secara terus menerus sehingga mempengaruhi fisik dan psikis korban.Â
Menurut Komnas Perempuan, KDRT cenderung terus meningkat akibat ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang muncul akibat adanya legitimasi dari budaya masyarakat dan ajaran agama yang dipahami kurang tepat, sehingga terbentuk kondisi dimana posisi perempuan dalam rumah tangga hanya sebagai subordinat dari laki-laki dalam hal ini suami memiliki potensi memunculkan sejumlah kekerasan lain.
Berdasarkan data kementerian kesehatan RI, kejadian KDRT meninggalkan luka psikologis yang amat mendalam bagi korbannya.
Kekerasan dalam rumah tangga memiliki dampak yang luar biasa terhadap keutuhan rumah tangga yang ujungnya berakhir dengan perceraian sehingga meninggalkan luka traumatis secara mendalam terhadap korbannya yang menggambarkan sebuah pengalaman negatif yang selalu diingat.
Trauma memiliki pengertian ganda yang secara medis dan psikologis.
Trauma dengan paradigma media yang dikenal secara aspek fisik yaitu gangguan fungsi pada tubuh atau cedera yang berasal dari benturan keras baik dari benda tumpul maupun tajam.
Sedangkan trauma psikologis diartikan suatu keadaan berdasarkan pengalaman atau peristiwa yang menimbulkan luka dalam memori seseorang dimasa lalu dan meninggalkan bekas yang tak bisa dilupakan.
Selain stres, ada beberapa gangguan kesehatan mental yang terjadi pada korban KDRT yaitu pertama, Depresi, kondisi dimana seseorang mengalami rasa sedih yang berkepanjangan dan kehilangan minat terhadap hal lain yang biasanya dilakukan dengan senang hati.
Kedua, Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), PTSD didefinisikan sebagai sindrom yang dapat dipicu setelah terpapar peristiwa traumatis yang melibatkan kematian atau ancaman kematian yang terus-menerus atau kerusakan parah pada diri sendiri atau orang lain, yang memunculkan respons subyektif berupa ketakutan, ketidakberdayaan, atau impotensi yang intens di tengah situasi dan kengerian.
Ketiga, Anxiety disorder (gangguan kecemasan), didefinisikan sebagai perasaan takut berlebihan yang terjadi pada seseorang yang berdampak pada terganggunya kegiatan sehari-hari (Gangguan kecemasan dapat dialami seseorang secara tiba-tiba jika teringat kekerasan yang dialaminya atau tanpa sebab yang jelas).
Keempat, penyalahgunaan zat, korban dari kekerasan memicu korbannya memiliki kemungkinan 10 kali lebih besar menyalahgunakan zat tertentu seperti alkohol dan psikotropika karena dianggap dapat menjadi pelarian dari masalah tersebut.
Dari semua efek ini, bisa membuat korban KDRT terbunuh atau mengakhiri hidupnya sendiri.
Kita tentu masih ingat dengan kasus KDRT berujung kematian di Boyolali dan Semarang tahun 2022 lalu. Kedua kasus ini menunjukkan potret buram KDRT saat suami tega menghilangkan nyawa istrinya.
Terbaru, dugaan KDRT terhadap seorang ibu rumah tangga (IRT) bernama IKD (31) diduga bunuh diri pada 13 April 2023 di rumahnya, Kelurahan Lelateng, Kecamatan Negara, Jembrana, Bali, ditemukannya memar di sekujur tubuh.Â
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi seseorang dalam melakukan kekerasan rumah tangga yaitu perselingkuhan, dalam hal ini perselingkuhan yang dilakukan oleh seorang suami dengan wanita lain yang menjadi salah satu faktor seseorang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Selanjutnya, masalah ekonomi, seharusnya kepala keluarga memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya tetapi jika nafkah tersebut tidak terpenuhi kepada istrinya yang menuntut hak maka akan menimbulkan seorang suami dapat melakukan suatu bentuk kekerasan ekonomi yang bermula dari sebuah konflik.
Kemudian, budaya patriarki, seorang suami menempatkan dirinya sebagai penguasa keluarga yang menempatkan laki-laki lebih berkuasa atas kaum perempuan dan anak-anak yang peranannya lebih dominan dan seringkali seorang wanita korban kekerasan oleh suaminya ikut disalahkan atas perbuatan yang dilakukan oleh suaminya.Â
Selanjutnya, pihak luar, keterlibatan pihak luar baik dari keluarga istri maupun suami memicu timbulnya kekerasan antara suami dan istri.
Terakhir, perbedaan prinsip, visi dan misi dalam kehidupan berumah tangga seharusnya menjadi satu pikiran namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam ikatan pernikahan memiliki prinsip yang berbeda.
Berdasarkan fakta-fakta itu, KDRT juga disebabkan setelah adanya pandemi covid-19 sehingga berdampak terhadap perekonomian keluarga, munculnya konflik dan waktu yang lebih banyak untuk berdiam diri di rumah.
Hal ini terungkap dari laporan KemenPPPA, selama masa pandemi 2020 hingga 2022, laporan KDRT terus meningkat.
Tahun 2020 sebanyak 20.501 kasus,tahun 2021 25.210 kasus, dan tahun 2022 sebanyak 27.593 kasus.Â
Masalah tersebut membuat stres dan gangguan kesehatan mental dengan berbagai faktor permasalahan yang ada selama pandemi covid-19 dalam rumah tangga dan menyebabkan terjadinya kekerasan.
Stres dalam hal ini, istri yang dominan menjadi korbannya lebih banyak merespon dengan diam, tidak melawan dan pasrah ketika menerima kekerasan dari suaminya.
Dari banyaknya kasus KDRT yang terjadi, dibutuhkan dukungan atau pendekatan baik secara sosial dan spiritual.Â
Psikologis dari seorang korban dapat terselesaikan jika mengubah sudut pandangnya bahwa semua hal di masa lalu dapat disembuhkan dan dijalani dengan adanya dukungan dari orang terdekat dan kedekatan dengan Tuhan.Â
Selain itu, peran konselor berperan penting dalam hal ini karena dapat menjadi pendamping atau jembatan terhadap masalah yang dihadapi oleh korban kekerasan dalam rumah tangga.
Konselor yang berperan tersebut didapatkan dari tenaga ahli profesional kesehatan yaitu psikolog.
Psikolog sangat mudah ditemukan dan melayani klien atau pasien yang membutuhkan konseling terhadap permasalahan yang terjadi.
Hal ini sudah terbukti dari berbagai penelitian, konselor sangat berperan sebagai fasilitator dan reflektor dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga. Peran konselor disebut sebagai fasilitator
karena permasalahan dan keinginan korban sebisa mungkin akan difasilitasi atau diusahakan dilaksanakan oleh konselor. Sehingga, konselor sangat berperan dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Dan konselor juga berperan sebagai reflektor yaitu konselor mengklarifikasi apa yang dipikirkan oleh klien terhadap anggapan orang lain kepada dirinya maupun kepada konselor. (*)
- Pantun Prof Ichsan Ali Membuat Senyum Prof Tjitjik Srie Tjahjandarie - 16 November 2024
- Diskusi KJP: Soroti Keberpihakan Program 4 Paslon Pemimpin Makassar - 1 November 2024
- Pengamat Politik Unhas dan UIN Alauddin Bedah Program INIMI - 1 November 2024