Anis Matta: Umat Islam Perlu Peta Jalan, Bukan Provokasi!

Berita Utama376 Dilihat

JAKARTA, INDEPENDENews.com – Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menegaskan, bahwa umat Islam sekarang perlu peta jalan, bukan provokasi.

Peta jalan ini yang akan menuntun umat Islam menuju kebangkitan.

“Tapi dari 5 kali Dialog Keumatan, roadshow kita di Jawa Barat mulai dari Bogor, Bekasi, Bandung, Sukabumi dan Taksimalaya, pertanyaan-pertanyaan yang kita dengar justru lebih banyak provokasinya,” kata Anis Matta dalam keterangannya, Selasa (16/1/2024).

Hal itu disampaikan Anis Matta dalam program Anis Matta Menjawab Episode 28 dengan tema ‘Umat Perlu Peta Jalan, Bukan Provokasi’ yang telah tayang di kanal YouTube Gelora TV, Senin (15/1/2024) malam.

Program Anis Matta Menjawab ini, dipandu Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Komunikasi Organisasi DPN Partai Gelora Dedy Miing Gumelar yang juga Caleg DPR RI Dapil Jabar VI Bekasi dan Depok.

Menurut Anis Matta, saat ini di masyarakat tumbuh kesadaran keagamaan yang kuat. Pada saat yang sama juga ada semangat dan keinginan keterlibatan dalam aktivitas politik yang luar biasa.

“Sehingga umat kita ini, memang mudah betul untuk dimobilisasi. Sekarang kita tidak bisa lagi memisahkan lagi antara agama dan negara, antara Islam dan politik. Artinya, soal sekularisasi di Indonesia ini sudah selesai,” katanya.

Masyarakat dalam memandang politisi sekarang, kata Anis Matta, harus religius, karena umat ingin agar agenda mereka diperjuangkan. Sehingga tuntutan menyatukan agama dan negara itu, satu hal yang tidak bisa dipisah-pisah lagi.

“Menurut saya tingkat kesadaran dan kemajuan kognitif di tengah masyarakat Islam sekarang luar biasa. Namun, sayangnya tingkat pengetahuan keislaman masyarakat kita masih rendah, terutama di masyarakat bawah,” katanya

Akibatnya, terjadi kesenjangan antara pengetahuan agama dan tuntutan keterlibatan dalam politik, hal Ini yang menyebabkan, masyarakat gampang di provokasi.

Ujung-ujungnya keterlibatan mereka dalam politik pun terllihat hanya sekedar emosional, seperti dalam mendukung dan menolak calon presiden (capres) tertentu dalam setiap pemilihan presiden (Pilpres).

“Umat jadinya gampang kena provokasi dan gampang dibuat bertengkar sesama mereka, akibat provokasi tersebut. Walaupun menurut saya, Pemilu 2024 ini jauh lebih bagus, tapi sifat emosionalnya masih ada, namun polarisasinya sangat rendah karena ada tiga calon,” katanya.

Anis Matta berharap para pemimpin umat dan pemimpin politik dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat yang tingkat pengetahuan keagamaanya masih rendah.

“Jadi semangat kesadaran beragama yang tinggi dan untuk terlibat juga yang tinggi secara politik ini perlu diberikan peta jalan kebangkitan kepada umat, agar umat tidak gampang di provokasi lagi,” katanya.

Anis Matta mengungkapkan, telah mengumpulkan ribuan orang dari 5 kali roadshow di Jawa Barat (Jabar) untuk memberikan pencerahan. Mereka yang dikumpulkan adalah para tokoh, kiai, ulama dan ajengan yang memiliki massa di akar rumput tersebut.

“Mereka yang nanti pada akhirnya yang menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat ini, karena mereka setiap hari bersentuhan dengan massa di akar rumput. Tugas kita adalah memberikan peta jalan sekarang,” ujarnya.

Kesadaran Geopolitik

Dalam kesempatan ini, Anis Matta mengatakan, bahwa peta jalan itu dirumuskan dan dimulai dari kesadaran geopolitik, karena kita hidup dalam dunia yang sangat terintegrasi.

Di mana satu krisis yang terjadi di belahan dunia lain, akan dirasakan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Sebagai contoh adalah penyebaran kasus Covid-19, dampak perang Rusia-Ukraina dan perang antara Hamas, Palestina-Israel.

“Virus Covid-19 misalnya, kita secara otomatis merasakan, sementara dari perang Rusia-Ukraina, perang Palestina-Israel kita juga merasakan dampaknya sekarang,” katanya

Dengan demikian maka, kata Anis Matta, kita tidak mungkin bisa memisahkan diri situasi geopolitik global sekarang.

Karena itu, jika ingin merumuskan satu peta jalan kebangkitan umat Islam, harus dimulai dari bacaan yang komprehensif terhadap realitas geopolitik global.

Realitas geopolitik global itu, menurutnya, ada dua relevansi. pertama meningkatkan pengetahuan dari tokoh-tokoh mengenai kesadaran geopolitik yang masih rendah. Padahal kesadaran geopolitik ini yang akan menentukan umat Islam menjadi pelaku atau korban.

“Kalau sekarang perang antara Palestina-Israel ini berkembang menjadi perang kawasan, maka harga minyak dunia akan naik. Ibu-ibu rumah tangga kan pasti akan bayar mahal untuk memenuhi kebutuhan pokok. Itu sebabnya kita perlu selalu memulai dari kesadaran geopolitik itu untuk merumuskan peta jalan,” jelasnya.

Relevansi kedua adalah mengubah kerumunan umat menjadi kekuatan politik yang real. Sehingga semangat yang luar biasa di tengah umat sekarang ini, menjadi energi yang akan bekerja secara sistematis supaya umat Islam, bukan hanya menjadi kerumunan, tapi benar-benar menjadi kekuatan politik.

“Kita harus menjadi pelaku utama politik, pelaku ekonomi yang utama dan jadi kekuatan utama lainnya. Sehingga kita tidak terus menerus bicara ketimpangan antara pribumi dan non pribumi, karena kita punya langkah-langkah kongkret untuk menghilangkan gap tersebut,” katanya.

Hal inilah yang mendasari Partai Gelora ingin ada penerjemahan politik dalam membaca peningkatan semangat kesadaran keagamaan masyaraat, dan keterlibatan aktif dalam aktivitas politik agar kerumanan dapat berubah menjadi kekuatan politik yang real.

“Betapa hebatnya kalau nanti anak-anak santri yang berakhlak beradab dan berilmu menjadi tentara, polisi dan menguasai pasar-pasar ekonomi. Itu salah cara memutus mata rantai kemiskinan kita, yang angkanya sekitar 10 persen atau hampir 30 juta. Kalau kita bicara kemiskinan, itu merupakan umat Islam,” ujarnya.

Dalam rangka memutus mata rantai kemiskinan tersebut, Partai Gelora dan pasangan nomor 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memperjuangkan agenda bantuan gizi ibu hamil, wajib belajar 16 tahun ditambah makan siang gratis di sekolah dan pesantrean, serta kuliah gratis.

“Dengan agenda tersebut, negara akan mengubah masyarakat kita menjadi masyarakat yang berpengetahuan. Agenda ini tentu akan mendapatkan tantangan kelompok liberal, mereka menolak negara campur tangan, tapi menurut kita negara harus memberikan fasilitas, termasuk kuliah gratis, sehingga semua orang bisa menuntut ilmu,” katanya.

Anis Matta berpandangan bahwa anggaran yang diperlukan untuk memfasilitasi agenda tersebut, memang sangat besar, namun apabila ada kebijakan keberpihakan dari pemerintah (political will), hal itu bisa dialokasikan.

“Jadi begini cara kita menerjemahkan ajaran-ajaran agama ini dalam kebijakan politik. Kita memang perlu kesabaran waktu berhadapan dengan umat untuk terus-menerus mengulangi penjelasan soal ini,” katanya.

Anis Matta mengaku tidak bosan menjelaskan hal ini secara terus menerus ke masyarakat, agar umat memiliki pengetahuan kesadaran keagamaan dan politik. Partai politik, lanjutnya, harus memimpin gerakan pencerahan pemikiran di tengah masyarakat.

“Partai politik harus menjadi publik educator yang melakukan pembaharuan pemikiran. Kita harus menjalankan langkah-langkah ini, karena umat perlu peta jalan kebangkitan, bukan provokasi,” pungkas Anis Matta. (*)